Minggu, 22 Februari 2015

Kamu, ketika memakai warna baju yang sama dengan orang lain. Kebetulan? Bisa iya, bisa tidak. Lalu bagaimana seandainya, orang tersebut diam-diam memperhatikan kebiasaanmu memakai warna baju. Memperhatikan warna kesukaanmu, dan kemudian ia mengikuti warna kesukaanmu. Masih kebetulan? Mungkin tidak.

Kamu, yang setiap pulang kuliah bertemu dengan orang yang sama di tempat parkir. Kebetulan? Tidak. Bagaimana jika ia menghafal jadwal pulang kuliahmu setiap hari? Kemudian ia berjalan ke tempat parkir disaat bersamaan denganmu, hanya sekadar ingin bertemu dengamu. Masih kebetulan? Aku rasa tidak.

Kamu, ya masih kamu. Ketika memiliki kesamaan menyukai suatu buku dengan orang lain. Kebetulan? Tidak. Bagaimana jika ternyata, ia menyukai buku yang sama agar sekadar bisa bercerita dan mengobrol bersamamu? Untuk memecah keheningan ditengah percakapan.

Kamu. Yang selalu tertahan hujan sore, bersamanya. Kebetulan? Tidak. Bagaimana jika ia sengaja menunggu hujan reda bersamamu? agar bisa bersamamu lebih lama, duduk di bangku halte, dan bercerita tentang hujan dan memori hingga hujan berhenti.

Kamu, ketika terjatuh, kemudian ada sahabat baikmu yang segera menghampiri dan membantu kamu bangun. Kebetulan? Tidak. Bagaimana jika sahabatmu itu sejak awal memperhatikan jalanmu? Ia tahu, kamu begitu lemah dalam perjalanan. Ia kemudian mengikuti jalanmu dibelakang. Hingga saat kamu terjatuh, ia siap membantumu untuk segera bangkit.

Kamu. Masih menganggap semua adalah kebetulan?

Maka, bisa aku katakan bahwa yang kamu maksud dengan “kebetulan” adalah skenario yang sudah diatur tanpa sepengetahuanmu. Tanpa campur tanganmu. Namun diluar pengetahuanmu, semua sudah diatur rapi. Karena terlalu rapi, kamu tak pernah tahu bahwa ini bukanlah sebuah “kebetulan”.

Jika bicara tentang “kebetulan”, maka ini adalah konsekuensi dari hati. Dimana Allah telah mempersatukan hati-hati hamba-Nya. Mengikatnya dalam ikatan iman. Menjadikan hati kita peka. Mungkin tanpa sepengetahuan oranglain, kita pernah mengucap doa untuknya. Dan orang lain pun, tanpa sepengetahuan kita, pernah mengucap doa untuk kita. Saat itulah Allah persatukan hati-hati kita.

Syahdan, Allah pertemukan kita disaat tak terduga. Disaat kita mengucap doa yang sama. Dan kita merasa itu adalah sebuah kebetulan. Padahal, tidak. Ada yang diam-diam merencanakan dan mengatur semuanya.

Tidak ada yang namanya kebetulan. Karena Allah Maha Sempurna dalam perencanaan.

Featured from Menoreh Jejak



Kebetulan

Read More

Aku petakan padamu dini hari ini, sebab sayang padamu terlalu menjulang hingga ujungnya tampak tipis, kecil seperti ilalang.

Begini, aku menyayangimu. Urut, dari pagi ke siang, lalu pelesir ke dinginnya malam. Siklusnya sudah seperti itu sejak Desember tahun lalu.

Menyayangimu aku juga sudah sampai pada lelah, berhenti peduli, mulai lagi, tambah gila, hingga tak lagi merasakan apa-apa kecuali ingin melihatmu selalu baik-baik saja.

Di dalamnya, termasuk ketika kau tengah luluh karena rindumu padanya; pada wanita yang kau panggil cinta. Yang katamu, tak bisa kembali bersatu meski sakit hati adalah tebusannya.

Aku tak gembira. Jauh dari suka cita. Hilang aksara hingga yang sanggup aku katakan hanya, "Kamu harus tetap baik-baik saja."

Kekasih, sampaikan rindumu untuknya pada dadaku. Titipkan perihnya pada detak-detak yang bersumber dari sana. Dengungkan kegelisahanmu pada gendang telingaku. Luapkan sesakmu pada kedua telapak tanganku.

Karena,

aku ulangi,

"Kamu harus tetap baik-baik saja."

Fearutred from Kotak Nasi

Peta

Read More

Mengatakan tidak untuk hal-hal tentangmu, aku seperti mematahkan sebagian tulangku. Linu hingga ke hati bagian ulu. Luka menjadi niscaya.

Tapi jika tidak sekarang, kapan ini berkurang?! Karena saat ini atau nanti, air mata tetap mewujud rupa, perih tetap sedih-sedih yang berperi.

Mereka tak peduli pada ilalang yang bergoyang-goyang merindukan sentuhan; apalagi padaku, pada gumpalan darah di antara rongga dadaku.

Jangan tanya soal rindu. Ia tetap di tempatnya sedari dulu, bergerak enggan banyak-banyak. Aku hanya harus mulai memelankan langkah menujumu, hingga berhenti tidak terlalu terasa menyakiti. Bukan menyakitimu, melainkan menyakitiku.

Karena hakikatnya, ini bukan soal melupakanmu, melainkan melupakan duniaku.

Featured from Kotak Nasi

Ini Bukan Soal Itu

Read More

Ketika urusan hati bagimu ternyata tak lebih dari main dadu, aku menyaksikan kamu melemparnya dengan pilu.

Sebelum membaca surat ini, kamu sudah harus minum air putih, minimal 4 gelas. Kamu tahu betul manfaatnya, kan?! Beberapa waktu lalu, aku kenyang kamu nasehati perihal kesehatan. Jadi mengenai ini, kamu pasti sudah ahli.

Aku sebenarnya khawatir. Aku yang terus bicara, mungkin bisa membuat telingamu terluka. Tapi, aku kadang malah yakin, bahwa sebenarnya kamu penasaran dengan aku yang selalu begini. Karena, mengetahui ada yang merindukan, aku tahu rasanya cukup menyenangkan. Walaupun rindu yang datang adalah rindu yang hadirnya tak begitu dikehendaki.

Kekasih, jika kamu anggap ini semua adalah permainan, aku juga menganggapnya arena bermain. Aku senang-senang bermain ayunan, bahagia meski lututku terluka karena jatuh di tanah berpasir. Tapi tetap saja, permainanmu membuatku malas pulang. Aku betah meski hanya ditemani tiang-tiang.

Sampai sekarang ini, permainan dadu yang kamu lemparkan, tuahnya belum berhenti. Maksudnya, berhenti tapi mulai lagi. Kamu boleh bertanya kapan ini semua berakhir, dengan santai akan aku jawab kapan-kapan. Ya. Bisa setelah menulis ini, bisa dini hari nanti, atau lain kali.

Featured from Kotak Nasi

Kamu Bermain Dadu

Read More

Kepada yang tak pernah mungkin...

Entahlah, turun dari mana rasa yang paling teristimewa di dunia. Tau-tau ada, tau-tau hadir, dan bukan hanya sekedar mampir. Ia ada untuk waktu yang sekian lamanya dan untuk luka yang sekian parahnya. Entah siapa yang memulai pertama. Entah aku. Entah kamu. Yang kutahu, tiba-tiba debar sudah menyebar. Hatiku jatuh padamu tanpa sadar.

Kepada yang tak pernah mungkin…

Yang tak pernah mungkin tau tentang luka hati, kepada yang tak pernah mungkin tau tentang sebuah cakap tentang hati yang kalap, dan yang tak mungkin tahu tentang rongga dada yang sudah kerap kali dilanda dilema, hingga sampai kapan kamu akan menjadi yang ‘tak pernah mungkin’ untukku?

Aku mungkin terlalu bodoh. Logikaku selalu berkata bahwa semua yang nampak di kornea mata hanyalah sia-sia. Ia telah lelah untuk mencoba membersihkan pikiranku yang sudah terkontaminasi parah oleh namamu. Namun, aku masih menginginkan hatiku—yang sudah tak layak merencanakan bahagia bersamamu—untuk tetap bertahan. Memaksa batin yang sudah kerap kali merasakan getaran hujan yang turun dari mata.

Aku tau, tenggelam dalam persepsi sendiri sama dengan pengecut. Aku tau kamu benci kemunafikan, aku tau kamu benci tentang sebuah senyum penyembunyi air mata. Namun, jika kamu telah mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku kamu akan membalas ekspektasiku? Memangnya jika kutampakkan airmata didepanmu, kau akan meninggalkan dia? Memangnya jika kamu tahu tentang senyuman pura-pura bahwa aku mengaku rela melepasmu dengannya, kamu bisa berbalik ke arahku dan amnesia soal dia? Sayangnya aku tak suka memaksa. Memangnya siapa aku? Hanyalah seorang perempuan yang terlalu berani membangun ekspektasi pada ketidakmungkinan yang sudah jelas-jelas nampak berdiri.

Kepada yang tak pernah mungkin…

Entah apa isi doamu pada Tuhan setiap malam, sehingga dengan mudahnya kamu selalu kuberi maaf. Padahal goresan di hati belum sempat sembuh, namun kemudian kamu membuat goresan baru dengan luka melepuh. Percuma sebetulnya menumpahkan semua salah hanya padamu. Tak akan mampu merubah keadaan.. Setelah kepala berputar dengan tanya dan tak menemukan alasan pastinya, mata ditunjukkan oleh semesta bahwa kita salah menilai cinta, mungkin memang inilah jalannya. Ketika cinta hanya ada untuk diketahui, bukan untuk disatukan dan dimiliki…

Featured from Penghujung November

Kepada Yang Tak Pernah Mungkin

Read More